Tanya:
Mohon pencerahannya, apakah setelah berwudhu kemudian bersentuhan dengan istri sendiri itu batal wudhunya?
(administrator@ariobimo.com)
Jawab:
Ini
termasuk persoalan khilafiah, yakni persoalan yang terdapat perbedaan
ulama dalam menyimpulkan hukumnya. Jika ada yang mengatakan bahwa
bersentuhannya suami-istri, walau tanpa syahwat, dapat membatalkan
wudhu, itu benar menurut pandangan satu mazhab. Dan jika ada yang
mengatakan bahwa bersentuhannya suami-istri tidak membatalkan wudu, itu
juga benar menurut pendapat mazhab yang lain. Persoalan ini telah
didiskusikan oleh para ulama sejak lama sekali.
Pangkal
persoalannya ada pada perbedaan pemahaman ulama-ulama terhadap kata
'lamastum' dalam QS al-Ma’idah (5): 6, yang merupakan dalil perintah
melaksanakan wudhu. Makna ayat itu kurang lebih demikian: "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka
basuhlah muka kamu dan tangan kamu sampai dengan siku-siku, dan sapulah
kepala kamu dan kaki-kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika
kamu junub, maka mandilah, dan apabila kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (lamastum)
perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu."
Imam
Syafi‘i memahami kata 'lamastum' (menyentuh) dalam arti persentuhan
kulit dari jenis kelamin berbeda dan bukan mahram, baik dengan syahwat
maupun tanpa syahwat. Imam Malik mensyaratkan persentuhan itu dengan
syahwat atau dengan tujuan membangkitkan syahwat. Sedangkan Abu Hanifah
menilai bahwa persentuhan dimaksud adalah hubungan seks, sehingga
sekadar persentuhan kulit dengan kulit, walaupun dengan syahwat, tidak
membatalkan wudhu.
Mereka yang berpendapat bahwa bersentuhannya
suami-istri tidak membatalkan wudhu, selain pemahaman kata 'lamastum'
dalam arti "persentuhan dengan syahwat" maupun dalam arti "hubungan
seks", juga berdalil dengan sebuah Hadis yang bersumber dari Umm
al-Mu’minin Aisyah ra, di mana beliau menyebutkan bahwa Nabi saw pernah
mencium salah seorang istrinya, kemudian pergi untuk melaksanakan salat
tanpa berwudhu lagi. Hadis ini dipahami bahwa jangankan "sekadar"
bersentuhan, berciumannya suami-istri pun tidak membatalkan wudhu. Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, tetapi dinilai dhaif oleh Imam
Bukhari.
Kita lihat di situ bahwa mazhab Imam Syafi’i tampak
lebih berhati-hati. Anda boleh mengikutinya. Jika Anda merasa aman-aman
saja dengan persentuhan itu, dan tidak ada dorongan nafsu syahwat sama
sekali, Anda boleh mengikuti pendapat Imam Malik.
Wallahu a’lam.
Detik.com