Detik.com - Puasa adalah salah satu dari sekian banyak ibadah pokok (mahdhah) yang
diwajibkan dalam Islam. Kewajiban ini tertera dengan jelas dalam Alquran
melalui firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa." (al-Baqarah [2]: 183).
Memasuki bulan
puasa, ayat tersebut kerap terdengar di atas mimbar-mimbar masjid dan
musala yang didengungkan oleh para mubalig kota maupun desa. Namun,
tahukah anda bahwa ketentuan berpuasa tak hanya dimiliki oleh umat
Islam, tetapi juga dilakukan oleh sejumlah agama besar dunia?
Secara redaksional isyarat kewajiban berpuasa atas agama-agama lain itu tersirat dengan jelas pada firman-Nya,
"sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu." Informasi Alquran tersebut tak berseberangan dengan fakta historis yang ada.
Ketika
menafsirkan ayat ini, Prof Quraish Shihab, dalam tafsirnya
'Al-Mishbah', misalnya menulis demikian, "Pakar-pakar perbandingan agama
menyebutkan bahwa orang-orang Mesir kuno—sebelum mereka mengenal
agama-agama samawi—telah mengenal puasa. Dari mereka, praktik puasa
beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam
agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi dan Kristen demikian
juga."
Senada dengan uraian Quraish Shihab itu, Ibn al-Nadhim
dalam bukunya' Al-Fihrist', menjelaskan bahwa agama para penyembah
bintang (al-Shabi'un) berpuasa selama tiga puluh hari dalam setahun,
selain itu ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari dan juga ada yang 27
hari. Puasa tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada bulan,
juga kepada bintang Mars yang mereka yakini sebagai 'bintang nasib',
dan juga kepada matahari.
Tak hanya itu saja, dalam ajaran agama
Budha kita juga mengenal adanya puasa dengan apa yang mereka istilahkan
"uposatha". Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan. Begitu
juga dengan agama Yahudi, mereka mengenal puasa selama empat puluh hari,
bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi para penganut
agama ini, khusunya dalam konteks mengenang momentum penting dan
nabi-nabi tertentu dalam sejarah mereka. Orang Kristen pun sama;
walaupun dalam Perjanjian Baru tak ada teks jelas mengenai kewajiban
tersebut, tetapi dalam praktik keberagamaan mereka dikenal aneka ragam
puasa yang ditetapkan oleh para pemuka agama.
Melalui informasi
ini, yang menjadi catatan pentingnya adalah bahwa syariat berpuasa bukan
barang baru yang dikenal dalam sejarah umat beragama sehingga dengan
kesadaran tersebut kita tak akan merasa berat dalam menjalankannya. Dan,
fakta bahwa agama-agama lain juga mengenal puasa itu selaras dengan
konsep dasar syariat Islam yang memiliki titik kesamaan dengan
syariat-syariat sebelumnya. Sejumlah pemikir Islam berpandangan bahwa
tak semua syariat Islam itu datang dengan hal yang baru; sebagian ada
yang merupakan proses kontinuasi dari syariat-syariat sebelumnya, pun
sebagian yang lain ada yang berupa proses diskontinuasi, yakni
pembatalan dari syariat-syariat sebelumnya. Puasa masuk dalam kategori
yang pertama ini. Ia bukan syariat yang baru, tetapi ia adalah ketentuan
yang
"telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu"
Agama-agama, khususnya agama semitik (abrahamic religion), memiliki
keterkaitan antar satu dengan yang lain. Syekh Ahmad al-Thayyib, Grand
Syekh al-Azhar, bahkan pernah mengatakan bahwa Islam dan Kristen itu
"bersaudara" (syaqiq). Atas itu—lanjut al-Thayyib—tidak relevan kita
membincangkan hubungan antara Islam dan Kristen (la yashih al-Sual; ma
al-'Ilaqah baina al-Islam wa al-Masihiyyah), sebab pada mulanya mereka
semua berada dalam satu ikatan monoteistik. Beliau menyitir sebuah
hadits riwayat Bukhari yang berbunyi, "Aku adalah orang yang paling
dekat dengan Isa putra Maryam. Nabi-nabi semuanya bersaudara, syariatnya
berbeda-beda, tapi agamanya satu." Agama-agama semitik itu pada mulanya berada pada satu rumpun, hanya saja pada tahap selanjutnya mengalami evolusi.
Kisah
yang sama juga dialami oleh agama Yahudi. Agama ini pada perkembangan
awalnya adalah agama monoteis, walaupun pada perkembangan lebih lanjut
mengalami deviasi teologis. Sekarang ini banyak orang yang
mencampuradukan antara (ajaran) Yahudi dengan Zionisme (baina al-Yahud
wa al-Shahyuniyyah). Padahal—masih kata Syekh Thayyib—dua terma tersebut
sebaiknya harus dipisahkan. Sikap mengeneralisasi suatu kelompok
sesungguhnya bukan sikap yang diajarkan oleh Alquran. Walaupun dalam
banyak ayatnya Alquran menyatakan ketak-setujuannya atas dasar teologi
dua agama semitik itu, namun ia tak bermaksud untuk mengeneralisasi
semuanya. Sebab, tak semua kalangan non-muslim itu buruk, sebagaimana
tak selamanya para pemeluk Islam itu baik. Bahkan, lebih dari itu
Alquran sendiri menjuluki mereka dengan panggilan yang sangat cantik,
yakni Ahl al-Kitab, sebagai bentuk penghargaan akan eksistensi dan
rujukan mereka atas kitabnya masing-masing.
Dengan wawasan
semacam ini, kita akan sadar bahwa puasa bukanlah tradisi keagamaan yang
hanya dimiliki oleh kita, dan pada saat yang bersamaan masing-masing
kita bisa saling menghormati antar satu dengan yang lain karena
sejujurnya kita semua adalah saudara. Bahwa setiap agama memiliki
partikularitasnya dan uniqueness-nya sendiri, jelas tak bisa ditolak,
namun di lain sisi kita juga tidak bisa menutup diri akan adanya semen
perekat yang menyatukan antar kita semua.
Sebagai keturunan nabi
Ibrahim, semoga kita semua tergerak untuk berlomba-lomba dan bersatu
padu dalam menciptakan kebaikan di muka bumi ini. Dengan menyadari bahwa
praktek berpuasa bukan hanya dimilki oleh kita, semoga umat beragama
bisa saling menghormati antar satu dengan yang lainnya. Menghormati dan
menghargai eksistensi kelompok lain yang berbeda adalah sikap yang
diajarkan oleh Alquran. Allah SWT berfirman: "Allah tak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung
halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (al-Mumtahanah; [60]: 8).
Demikian. Semoga kita bisa saling menghormati dan berlaku antar sesama!
*Mahasiswa Al-Azhar Kairo, Mesir